TIMES MOJOKERTO, MOJOKERTO – Yayasan Bimasakti Peduli Negeri (YBPN) memiliki satu pencapaian penting pasca menggelar Lomba Video Budaya 2025 secara Nasional. Pencapaian itu terlihat dengan kehadiran sosok Gen Z yang memilih jalan mewarisi kebudayaan dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Sunda Indonesia.
“Saya sebenarnya surprise dimana ada 1 orang Gen Z dan dia adalah Penghayat Kepercayaan. Sunda. Ini artinya dia melestarikan budaya yang sifatnya luar, tapi bagian dari budaya spiritual,” kata Pemilik YBPN, Ibnu Sunanto kepada TIMES Indonesia, Sabtu (1/11/2025).
Ibnu juga mengatakan, budaya spiritual ini telah lama hancur di Indonesia. Momen ini menjadi langka karena menemukan sosok Gen Z yang memiliki agama penganut kepercayaan.
Canisa, Pemenang utama 2 dalam Lomba Video Budaya 2025 YBPN, Jumat (31/10/2025) (FOTO: Theo/TIMES Indonesia)
“Dia juga sebagai Penempa Kujang, Penempa logam dan seorang perempuan. Ini adalah pertanda baik bagi kelestarian budaya di Indonesia,” ungkapnya.
Terpisah, Canisa adalah perempuan Gen Z, lahir di Bandung tanggal 26 Juni 2024. Ia lahir dari lingkungan Penganut Agama Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha dengan ajaran ilmu penempa logam di Bandung, Jawa Barat. Canisa adalah sosok pelestari budaya nenek moyang yang memilih jalan sebagai penganut agama kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia.
Canisa mendapatkan juara utama 2 dalam Lomba Video Budaya 2025 YBPN Nasional. Mahasiswa jurusan DKV ini memberikan pesan dalam videonya bahwa anak muda berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dalam hak dan kewajiban, meskipun memilih jalan memeluk agama yang berbeda.
“Kami mengangkat tema sesajen dan penempa sebagai refleksi bagaimana penghayat memiliki peran sebagai pelestari budaya dan sudah seharusnya kita melestarikan budaya,” ungkapnya.
Agama Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Penghayat kepercayaan adalah penganut agama leluhur atau agama nenek moyang. Penghayat kepercayaan ini terhimpun dalam satu organisasi wadah besar bernama Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Di Indonesia sendiri ada 2 organisasi sayap nasional yakni Puan Hayati, wadah nasional untuk perempuan penghayat. Gema Pakti untuk generasi muda penghayat kepercayaan.
“Kami di Bandung tergabung di organisasi, yakni Organisasi Penganut Kepercayaan BUDIDAYA, dengan satu tokoh yaitu Bapak Mei Karta Winarta. Ada 1 organisasi penghayat lainnya di Bandung, itu Aliran Kebatinan Perjalanan. Itu tokohnya juga Mei Karta Winarta,” ungkapnya.
Lika-liku Penganut Agama Kepercayaan
Menjadi penganut agama kepercayaan di Indonesia tentu tidaklah mudah. Awalnya Mahasiswa semester 7 di Sekolah Tinggi Desain Indonesia (STDI) ini ikut alur saja menjalani peribadatan masyarakat pada umumnya.
“Karena belum adanya putusan MK itu kami itu lebih terpaksa memilih ke salah satu agama resmi di Indonesia. Itu terjadi di keluarga kami, mau dicantumkan agama Islam di sekolah ya silahkan, ikut alur saja,” kata Canisa.
“Keluarga kami yang penganut kepercayaan itu ikut dalam agenda-agenda di organisasi BUDIDAYA. Berbarengan itu saya ikut terlibat dalam organisasi itu,” cerita Canisa, awal dia mengenal agama kepercayaan.
Canisa juga mengaku lebih mengikuti alur peribadatan masyarakat pada umumnya. Hingga akhirnya putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 yang mengakomodir agama ‘Kepercayaan’ ke dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) terbit di tahun 2016.
“Pada akhirnya pengurus organisasi mulai mensosialisasikan hal ini. Saya pun ikut dan mencari lebih dalam mengenai agama kepercayaan tersebut. Seiring waktu berjalan saya memutuskan menjadi penganut agama kepercayaan ini,” tegasnya.
Harapkan Toleransi dan Kesetaraan
Canisa adalah satu diantara puluhan puan gen Z di Indonesia yang memilih jalan sebagai penganut agama kepercayaan. Canisa tinggal di Desa Mekar Sapatu, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Ia berharap lingkungan bisa bertoleransi dan memberikan perlakuan yang sama. Bahwa kita sama-sama manusia.
“Menganut agama kepercayaan di Indonesia tentu tidak selamanya nyaman. Mereka mengalami bullying, perbedaan perlakuan, parahnya itu sampai pengajarnya juga melakukan hal yang sama,” ujarnya.
“Kita sama-sama manusia, karena kan kepercayaan itu ranah pribadi, dan pilihan pribadi. Menurut saya, jangan lagi ada perbedaan-perbedaan perlakuan. Agar dibuka aja mindsetnya bahwa tidak ada masalah di dalam perbedaan,” sambungnya memungkasi. (*)
| Pewarta | : Thaoqid Nur Hidayat |
| Editor | : Imadudin Muhammad |