TIMES MOJOKERTO, MOJOKERTO – KPU Kabupaten Mojokerto gencar mensosialisasi dan mengedukasi politik terhadap pemilih pemula. Diskusi dan tanya jawab menjadi salah satu cara pendekatan yang dirasa paling efektif. Seperti yang digelar di MAN 1 Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Rabu (4/9/2024).
Ketika itu, ada salah satu siswa yang bertanya, kenapa TNI – Polri tidak boleh mencoblos? Mengapa hanya TNI-Polri saja yang tidak mempunyai Hak Pilih, sedangkan PNS mempunyai Hak Pilih?
Hal itu pun dicoba dijawab oleh Komisioner KPU Kabupaten Mojokerto, Muslim Bukhori. Ia menjelaskan, TNI-Polri tidak memiliki hak pilih karena sudah menjadi amanat undang-undang.
“Bahwa TNI-Polri tidak mempunyai hak pilih dikarenakan TNI-Polri memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam setiap pemilihan umum di Indonesia,” katanya kepada TIMES Indonesia, Rabu (4/9/2024).
Sementara, dari hasil penulusuran berbagai literatur oleh TIMES Indonesia, Sejarah Indonesia mencatat bahwa tentara dan polisi pernah terlibat secara langsung dalam politik praktis. Secara singkat dijelaskan, butuh waktu yang sangat lama bagi masyarakat sipil, khususnya mahasiswa untuk mengeluarkan tentara dan polisi dari kehidupan politik praktis. Dimana tentara dan polisi saat itu masih tercatat sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
TIMES Indonesia mencoba merangkum sejarah perjalanan tentara dan polisi dalam dunia politik dan alasan mengapa TNI-Polri tidak memiliki hak pilih dalam pemilu.
Era Orde Lama
Keterlibatan tentara dan polisi dalam Pemiliu terjadi di era Orde Lama. Pemilu pertama yang digelar pada tahun 1955, bahwa semua warga negara yang berusia 18 tahun atau yang sudah kawin berhak memilih (memiliki hak pilih). Tidak hanya itu, UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berlaku ketika itu secara jelas mengatur mekanisme hak pilih khusus bagi tentara dan polisi.
Pasal 3 Ayat 1 undang-undang tersebut berbunyi, “Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilih bagi anggota-anggota angkatan perang dan polisi, yang pada hari dilakukan pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya dan apabila perlu dengan mengadakan dalam waktu sependek-pendeknya pemungutan suara susulan untuk mereka itu.”
Tidak hanya hak pilih saja yang diatur, melainkan tentara dan polisi diperbolehkan maju sebagai calon peserta pemilu. Pada 20 Mei 1954, sejumlah veteran militer dan anggota militer tidak aktif kemudian mendirikan partai politik yang bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pendirian partai politik ini setahun menjelang Pemilu.
Pemilu pertama kala itu, dari 167 calon yang diajukan oleh IPKI, 73 diantaranya berasal dari anggota militer atau tentara. IPKI dengan mayoritas anggota militer secara tidak langsung membuat anggota militer memberikan dukungan terhadap partai ini. Tak terkecualis Divisi Siliwangi. Alhasil, IPKI memperoleh suara yang cukup besar dari Jawa Barat.
IPKI akhirnya masuk sebagai sepuluh besar partai politik peserta Pemilu 1955, meski perolehan suara secara nasional cukup kecil dan kursi parlemen yang didapat tidak banyak.
Era Orde Baru
Pada era pemerintahan orde baru, ABRI kerapkali menduduki jabatan-jabatan strategis. Diantaranya kedudukan sebagai Menteri, Gubernur, Bupati, dan Parlemen. Rezim Otoritarian Soeharto melangsungkan politisisasi terhadap ABRI untuk tujuan melanggengkan kekuasaan.
Pada zaman Soeharto, ABRI melakukan kontrol terhadap proses politik pergantian kekuasaan melalui Pemilu. Pada setiap proses Pemilu, ABRI ikut mengawasi secara langsung dan kerapkali melakukan intervensi.
Alasan TNI dan Polri Tidak Boleh Ikut Pemilu
Era Orde Lama, keterlibatan ABRI dalam politik menyebabkan anggota ABRI terkotak-kotak dalam partai politik yang mereka dukung. Akhirnya institusi ABRI menjadi tidak solid dan terpecah.
Untuk mengatasi ini, pada masa Era Orde Baru, ABRI diberikan jatah keanggotaan di parlemen mulai dari DPR, DPRD, dan MPR. Jatah di parlemen ini diberikan tanpa pemilihan, melainkan pengangkatan. Hal ini dimaksudkan agar anggota ABRI tidak lagi terkotak-kotak dan dapat berdiri di atas semua golongan.
Namun, faktanya, prinsip berdiri di atas semua golongan justru berkembang liar menjadi mengatasi semua golongan. ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan. Dampaknya, ABRI tidak hanya terlibat dalam kegiatan politik, tapi berperan dalam seluruh proses dan mekanisme politik yang berlangsung. Bahkan, ABRI ikut mengawasi secara langsung dan mengintervensi proses pemilu.
Untuk mengatasi ini semua, keterlibatan tentara dan polisi dalam politik pun dikoreksi. Hak ABRI yang kemudian dipisah menjadi TNI dan Polri dalam berpolitik pun dicabut.
TNI dan Polri tidak diberi hak pilih dalam Pemilu dan tidak ada lagi pengangkatan anggota dari dua institusi negara ini di lembaga perwakilan. Hingga kini, TNI dan Polri sepenuhnya hanya menjadi alat negara yang profesional. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ketika KPU Kabupaten Mojokerto Ditanya Siswa Kenapa TNI-Polri Tidak Punya Hak Pilih
Pewarta | : Thaoqid Nur Hidayat |
Editor | : Irfan Anshori |