https://mojokerto.times.co.id/
Berita

Diskusi Terbuka terkait Disabilitas Mental di Bulan PRB

Selasa, 14 Oktober 2025 - 16:27
Disabilitas Mental dalam Bencana, Antara Ada dan Tiada Eks-Disabilitas mental di Indonesia, Saiful Anam dalam Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di Rumah Rakyat, Kota Mojokerto. (Foto: Theo/TIMES Indonesia) �

TIMES MOJOKERTO, MOJOKERTO – Bencana dapat menimpa siapa. Penyandang disabilitas menempati tingkat kerawanan yang cukup tinggi daripada masyarakat normal. Tingginya risiko sebagai korban menjadikan penyandang disabilitas harus terlibat dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan eksekusi dalam penganggulangan bencana. Pada praktiknya, hal itu benar-benar terjadi dalam Peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di Mojokerto, 1-3 Oktober 2025 lalu. 

Disabilitas sebagai subjek hukum dalam penanggulangan bencana menghasilkan Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi) sebagai implementasi Perka nomor 14 tahun 2014. Harapan baru muncul bahwa penyandang disabilitas bukan sebagai calon korban, akan tetapi menjadi sosok tangguh dalam menghadapi bencana alam. 

Pemahaman umum tentang penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki kekurangan fisik, penglihatan, pendengaran, dan lain sebagainya. Disabilitas Mental dalam satu sisi dianggap ada, dan pada sisi yang lain tidak diakui keberadaannya. Convention of on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang berlaku mulai 3 Mei 2008 mengakomodir disabilitas mental dalam meteri perundang-undangan, tidak terkecuali di Indonesia. 

Diskusi-Terbuka-terkait-Disabilitas-Mental-di-Bulan-PRB-b.jpgDiskusi terbuka “Nothing Without Us” dalam Peringatan Bulan PRB di Rumah Rakyat, Kota Mojokerto. (Foto: Theo/TIMES Indonesia)

"Nothing Without Us”, Rabu (1/10/2025) lalu di Pendopo Rumah Rakyat, Kota Mojokerto masih membekas. Bincang-bincang kebencaan yang melibatkan seluruh penyandang disabilitas dalam perencanaan penanggulangan bencana. Tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas mental. 

“Ini momentum bagaimana penyandang disabilitas terlibat dalam soal-soal krusial yakni kebencanaan yang selama ini kurang terlibat bahkan tidak terlibat,” kata Saiful Anam, eks-penyandang disabilitas mental di Indonesia kepada TIMES Indonesia. 

Penyandang disabilitas mental tidak lagi termarjinalkan dalam tataran perundang-undangan. Suatu kemajuan yang bisa dikatakan sebagai kemajuan 300 tahun dalam peradaban. LIDi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hadir di Indonesia sejak 2017 di Jawa Tengah. Berangsur-angsur bertambah pada tahun 2024 di Jawa Timur. NTT dan NTB pun menyusul. Tahun 2025 BNPB tengah menggarap LIDi di Provinsi Bali. Hal ini sesuai amanat Perka nomor 14 tahun 2014.

Diskusi-Terbuka-terkait-Disabilitas-Mental-di-Bulan-PRB-c.jpgDiskusi terbuka penguatan Destana di Indonesia  dalam Peringatan Bulan PRB di Rumah Rakyat, Kota Mojokerto. (Foto: Theo/TIMES Indonesia)

“Secara khusus, kegiatan ini merupakan kemajuan bagi perspektif disabilitas, karena sudah ada di undang-undang bahwa penyandang disabilitas wajib terlibat atau wajib setara dalam penanggulangan bencana,” terangnya. 

300 Tahun Kemajuan dalam Peradaban

Saiful Anam mengatakan bahwa hak-hak disabilitas mental menurutnya baru-baru ini terakomodasi. Padahal kalau bicara konvensi internasional yang ditandatangani sejak 2006 dan mulai berlaku pada tahun 2008. 

“Artinya, baru. Selama ini penyandang disabilitas mental itu dianggap orang yang sakit, sebuah kemajuan dalam kurun waktu 300 tahun belakangan,” tegasnya. 

Anam mengutip buku Madness and Civilization karya Michael Foucault, bahwa Disabilitas Mental dalam perkembangan sejarah mengalami diskriminasi yang luar biasa. “Abad kuno dianggap idiot, di abad pertengahan dianggap orang yang sakit jiwa, atau orang dungu. Pada abad renaisans itu dianggap orang yang gila. Abad 17 dianggap sebagai orang yang sakit jiwa, itu berlaku selama 300 sampai abad 20,” terang pria yang merupakan sarjana S2 filsafat di Surabaya ini. 

Menurut Anam selama 300 tahun, disabilitas mental dipersepsikan dalam persepsi kultural yang dominan. Dipersepsikan sebagai orang yang dirasuki roh jahat, memiliki dosa besar, dan orang gila. “Tapi pada abad 18-20 ketika lahir teori Psikiater dikuasai oleh Psikiatri. Jadi Psikiater memiliki otoritas penuh terhadap disabilitas mental. Bahkan harus mengikutinya dan tidak punya kemerdekaan,” jelasnya.

“Bahkan hak sebagai subjek hukum masih diampu oleh kerabatnya, saudaranya,” sambungnya. 

CRPD lahir yang mengakui sebagai Disabilitas atau ragam disabilitas, baru angin kebebasan muncul. Meskipun Indonesia ikut menandatangani CRPD dan diratifikasi dalam Undang-undang 9 tahun 2011, tapi isu kesehatan mental di Indonesia belum memiliki progres yang signifikan. “Secara umum ketika bicara disabilitas kebanyakan memahami cacat fisik, pendengaran, penglihatan, sedangkan disabilitas mental belum terbaca,” ungkapnya.

“Kita masih punya agenda untuk mengkampanyekan bahwa kita harus tahu Disabilitas Mental bagian dari disabilitas bukan dianggap sebagai penyakit tapi sebagai bentuk keragaman dalam kemanusiaan,” tambahnya. 

Menurut Anam, keterlibatan disabilitas mental dalam pemenuhan hak-hak penanggulangan bencana masih memiliki dinamika di Indonesia. Diskursus tentang disabilitas mental adalah bagian dari kemanusiaan dalam keberagaman terlebih dahulu dapat diterima kalangan umum sebelum nantinya mereka dapat berperan dalam penanggulangan bencana. 

“Ini titik balik, dan harus diperjuangkan karena diskursus ini belum terbangun secara luas, jadi penyandang disabilitas mental masih diakui secara tidak penuh, belum dimengerti, dan belum diketahui secara luas, bahwa disabilitas mental itu bagian dari disabilitas,” pungkas Anam.

SIAP SIAGA dan Destana BNPB

Konsorsium Destana Inklusif (Kondusif) Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan Pembangunan (LPKP) Jatim, Sutiah menyatakan apa yang dilakukan semua pihak selama ini adalah untuk mewujudkan sebuah kemandirian sosial dan ekonomi dalam konteks kebencanaan.

Sesuai Perka BNPB 1/2012, tim Kondusif bersama Program SIAP SIAGA, yaitu program kemitraan pemerintah Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana, mengembangkan program yang mengkolaborasikan empat pilar dalam Destana yaitu konvergensi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan adaptasi perubahan iklim, membangun ketangguhan ekonomi, Gender Equality Disability and Social Inclusion (GEDSI) mainstreaming, dan penanggulangan bencana melalui Destana.

Kondusif berupaya membangun ketangguhan masyarakat dengan memastikan pendekatan inklusivitas pada Desa Tangguh Bencana (Destana). Jika dalam konteks GEDSI, yaitu adanya pelibatan kelompok rentan seperti perempuan, anak, kelompok disabilitas yang memiliki risiko tinggi ketika terjadi bencana. Walaupun memang belum terimplementasi dengan baik di lapangan. 

“Ada hal menarik di desa. Kami menemukan banyak pelibatan kelompok rentan yaitu perempuan di desa dan berjalan sudah cukup baik. Tetapi, untuk disabilitas dan kelompok-kelompok minoritas lainnya masih menjadi pekerjaan rumah kami,” tutur Sutiah.

Tantangan memang selalu ada. Persepsi masyarakat dan pemerintah desa masih kerap mempertanyakan mengapa harus melibatkan orang disabilitas. Mereka berpikir itu akan menjadi beban. Inilah mengapa Kondusif berusaha membangun sebuah pemahaman dan kesadaran terkait partisipasi bermakna. Selama ini, pelibatan kelompok rentan masih sebatas pelengkap saja. Kini, mereka didorong supaya memiliki kemampuan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat di setiap tahapan pembentukan atau pengembangan Destana. (*)

Pewarta : Thaoqid Nur Hidayat
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Mojokerto just now

Welcome to TIMES Mojokerto

TIMES Mojokerto is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.