TIMES MOJOKERTO, JAKARTA – Menyambut ibadah Ramadan 2023, perlu juga kita me-refresh ulang lagi makna kemanusiaan ibadah puasa yang pernah disampaikan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Setidaknya, dawuh Gus Dur itu bisa jadi pedoman dan persiapan bagi yang akan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan 2023. Berikut tafsir kemanusiaan yag disampaikan Gus Dur.
Puasa di bulan Ramadan itu ada awal dan akhirnya
Ketika kita bicara soal topik Idul Fitri, maka kita harus meninjaunya dari hakikat Idul Fitri sebagai akhir dari sebuah perjalanan ibadah puasa dalam bulan Ramadan.
Ibadah ini disifati oleh Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Ya ayyuhalladzina amanu kutiba 'alaikumus-siyamu kama kutiba 'alallazina ming qablikum la'allakum tattaqun."
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
Ayat itu menegaskan bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Tidak dapat ditinggalkan kecuali kalau ada alasan yang membenarkan hal itu.
Dalam ungkapan dan pengertian lain, ibadah puasa dimasukkan dalam satu gugusan kegiatan dalam bulan Ramadan.
Hal itu diungkap Nabi Muhammad SAW:
وهو شهر اوله رحمة واوسطه مغفرة واخره عتق من النار
Wahuwa syahrun awwaluhu rahmatun, wa ausathuhu maghfirotun, wa aakhiruhu ‘itqun minannari.
Artinya: Bulan Ramadan itu awalnya rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka". (HR. Al-Mahaamili)
Terlepas dari apakah kita harus mengartikan "itqun minannar" itu sebagai pembebasan dari ancaman api neraka secara harfiah, leterlek (leterlijk) atau dalam arti kiasan (alegori), yang jelas, ibadah puasa itu memiliki awal dan memiliki akhir.
Pada awal puasa Ramadan adalah sebagai rahmat, bentuk pembebasan atau penegasan ikatan-ikatan antara sesama manusia. Dengan kata lain, puasa adalah pemberian Tuhan kepada manusia yang berupa adanya keharusan untuk memelihara hubungan antarmanusia secara baik.
Tahap awal puasa Ramadan ini merupakan sendi kehidupan masyarakat. Sebuah panggilan untuk senantiasa berpikir tidak hanya dalam konteks individual semata. Melainkan juga dalam kerangka kemasyarakatan. Artinya, setiap gerak untuk memenuhi kebutuhan individual kita, harus juga diletakkan dalam sebuah kerangka kemasyarakatan. Sebuah Gerak individual akan berpengaruh juga pada gerak kehidupan masyarakat.
Karena itu, orang berpuasa pada hakikatnya adalah sebuah pekerjaan besar untuk mengokohkan (menguatkan) ikatan-ikatan sosial kita sebagai manusia. Ini tugas manusia yang tidak ringan, tetapi sangat mulia.
Perintah puasa sebagai bagian tugas kenabian
Puasa juga merupakan salah satu bagian dari diutusnya (tugas kenabian) Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia.
Dinyatakan dalam Al Quran Surat Al Anbiya’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin. Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Nabi Muhammad SAW itu tugasnya juga sebagai pembawa ikatan yang kokoh di antara semua umat manusia. Jadi, tugas keutusan (tugas kenabian) beliau sebagai nabi, kita kokohkan dalam perbuatan meningkatkan ikatan sosial kita dalam bulan suci Ramadan itu.
Ini hal sangat penting yang harus kita ingat dan dipahami selalu.
Solidaritas sebagai dimensi kemanusian dalam puasa
Dimensi kemanusiaan dalam ikatan sosial yang kokoh, mengharuskan kita untuk mengembangkan solidaritas. Ikatan sosial yang tidak didasari oleh rasa solidaritas yang kokoh, hanya akan menghasilkan kerangka kehidupan yang kering. Kerangka kehidupan yang tidak memberikan makna apa-apa.
Alquran juga menekankan dan mengaskan pentingnya arti solidaritas tersebut.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Kahfi Ayat 46:
الْمالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْباقِياتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَواباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
Almalu wal banuna zinatul hayatid dunya wal baqiyatus sholihatu khoirun ‘inda robbika tsawabaw wa khoirun amala.
Artinya: Harta dan anak itu perhiasan kehidupan dunia. (Sementara) amalan-amalan saleh yang kekal itu pahalanya lebih baik dan lebih didambakan bagi Tuhanmu.
Dalam surat itu, hal yang paling punya arti mendalam bagi seorang manusia secara individual seperti anak-anak dan harta benda, dilukiskan sebagai tipuan.
Perhiasan kehidupan dunia tersebut, harus diteruskan, diproyeksikan atau ditempatkan pada kehidupan akhirat yang penuh kebahagiaan agar memiliki arti atau makna. Karena itu, diingatkan kepada kita untuk tidak terkecoh oleh dimensi keduniaan tadi.
Sementara dalam QS Ali Imran ayat 185 berbunyi:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kullu nafsin dzaiqatul maut. Wa innama tuwaffauna ujurakum yaumal-qiyamati faman zuhziha ani-nari wa udkhilal-jannata faqad faaza. Wa mal hayatuddunya illa mata’ul-ghurur”.
Artinya: Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya kalian akan dibayar dengan balasan penuh di hari kebangkitan. Maka barangsiapa yang telah dikeluarkan dari api neraka dan diizinkan untuk masuk surga, sungguh dia sangat beruntung. Dan kehidupan dunia ini tidak lain adalah suatu tipuan.
Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu belaka. Apakah ini berarti kita harus menolak kehidupan materi? Bukan demikian.
Apakah kita juga harus menjauhi kesenangan berkeluarga? Bercengkerama dengan anak-istri kita? Bukan demikian pula.
Maksudnya adalah kehidupan materi dan kehidupan keluarga yang serba menyenangkan itu, harus diletakkan dalam sebuah kerangka sosial yang mengokohkan dan menguatkan solidaritas diantara kita semua.
Apalah artinya hidup bersenang-senang yang dinikmati satu keluarga saja di tengah lingkungan yang penuh kemelaratan dan kemiskinan?
Dalam Islam, ditegaskan untuk selalu bersungguh-sungguh untuk menolong orang lain. Ada rasa bertanggungjawab terhadap atas nasib orang lain. Bahkan bagi para pemimpin, kepemimpinan mereka diukur dari kemampuan menyejahterakan orang-orang yang mereka pimpin.
Tugas manusia sebagai khalifah
Sebuah kaidah fikih mengatakan:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
"Tasharruful imam ’ala al-ra'iyyah manutun bil al-mashlahah".
Artinya: Sikap dan kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya haruslah didasarkan kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Jadi jelas sekali, bahwa ada keharusan memelihara solidaritas sosial yang kuat untuk memberikan warna yang jelas kepada ikatan sosial yang ada. Sehingga ikatan sosial itu mempunyai makna yang sesuai dengan dimensi kemanusiaan seperti yang diharapkan oleh Allah SWT.
Kalau manusia diukur sebagai khalifah Allah, sebagai pengganti tugas-tugas ketuhanan di muka bumi, seperti dikatakan oleh Al Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Wa iż qāla rabbuka lil-malā`ikati innī jā'ilun fil-arḍi khalīfah, qālū a taj'alu fīhā may yufsidu fīhā wa yasfikud-dimā`, wa naḥnu nusabbiḥu biḥamdika wa nuqaddisu lak, qāla innī a'lamu mā lā ta'lamụn
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'
Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?'
Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'
Dalam ayat itu, Allah SWT menyiratkan bahwa penciptaan manusia di muka bumi ini salah satunya adalah sebagai ’penggantiNya’. Maka dari itu, manusia yang mengemban status khalifah seperti itu, harus mampu mewujudkan solidaritas sosial yang kokoh. Solidaritas yang tidak hanya terbatas kepada umat manusia belaka. Namun bagi seluruh makhluk yang ada dalam kehidupan alam semesta ini.
Demikian uraian singkat tafsir kemanusiaan puasa Gus Dur dalam menyambut ibadah puasa di bulan Ramadan 2023. Tulisan ini adalah hasil editing berdasarkan yang disampaikan almarhum Gus Dur (bisa dilihat link YouTUBE. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ramadan 2023, Mengingat Lagi Tafsir Kemanusiaan Puasa Gus Gur
Pewarta | : Ratu Bunga Ambar Pratiwi (MG-345) |
Editor | : Faizal R Arief |